Rabu, 23 Mei 2012

Kultur Pulau Mandangin Sampang


KULTUR MASYARAKAT PULAU MANDANGIN ANTARA ADAT DAN TUNTUTAN JAMAN


Masyarakat Pulau Mandangin merupakan sebuah komunitas yang unik, mereka tinggal di pulau kecil sekitar perairan selat Madura, dalam administrasi pemerintahan,Pulau Mandangin berada dalam wilayah teritorial Kecamatan Sampang.Masyarakat kota biasa menyebut komunitas Pulau sebagai orang poloh (orang pulau), sebuah sebutan yang memberikan stigma perbedan yang sangat jelas dengan komunitas masyarakat perkotaan, yang biasa disebut sebagai orang dataran, padahal mereka hidup dalam satu kesatuan wilayah Kecamatan Sampang.

Keunikan mayarakat Pulau Mandangin bisa dilihat dari pola-pola kebudayaannya yang sangat berbeda dengan pola masyarakat kota.
Namun seringkali keunikan-keunikan tersebut justru bedampak negatif dan tidak menguntungkan bagi citra dan martabat masyarakat Pulau. Hal ini akan berdampak tidak baik di masa yang akan datang apa bila tidak dilakukan upaya rekonstruksi sejak dini.


















LATAR POKOK MASALAH

Sebuah upaya mengangkat citra dan martabat merupakan antitesis dari anggapan bahwa terdapat suatau kenyataan yang tidak selaras secara normatif telah terjadi dalam tatanan sebuah masyarakat.karenanya perlu dilakukan pembenahan, penataan ulang,bahkan pada tingkatan perombakan sebuah kemapanan pola yang sudah berlaku secara umum dalam lingkungan sebuah masyarakat.
Upaya-upaya seperti ini tentu saja tidak begitu saja mendapatkan tanggapan yang memadai dari komunitas masyarakat yang bersangkutan karena sangat mungkin perubahan dianggap mengancam taradisi yang telah berlangsung secara turun temurun. Bisa jadi upaya menuju perbaikan sudah sering dilakukan sebelumnya, misalkan oleh para tokoh agama, pendidikan di sekolah atau lembaga lain yang berkepentingan secara nasional.
Tetapi, sampai saat ini tampaknya usaha yang ada belum membuahkan hasil yang meggembirakan. Pesan-pesan normatif yang disampaikan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan, sosial kemasyarakatan, pendidikan dan bahkan politik, masih bersifat retorik belaka.
Hal itu menunjukkan bahwa usaha yang ada masih pasif dan tidak belum mengesankan masyarakat untuk menyadari akan pentingnya tuntutan jaman. Perubahanyang terjadi belum menunjukkan sebuah kesadaran yang menjadi bagian dalam pola kehidupan sehari-hari.









STIGMATISASI

Masyarakat Pulau Mandangin terisolir, tidak ada akses yang memadai untuk melakukan asimilasi secara dengan masyarakat luar. Tidak ada catatan sejarah yang dapat menunjukkan sejak kapan pulau kecil tersebut berpenghuni dan dari mana asal-usul penghuninya. Fakta mitospun tidak menunjukkan indikasi bahwa leluhur mereka adalah Bangsacara dan Raga Padmi karena keduanya meninggal akibat pembunuhan pada masa kerajaan. Sementara ini yang berkembang di kalangan masyarakat luas bahwa mereka berasal dari komunitas buangan karena penyakit kusta yang sengaja diisolir oleh pemerintah. Perlu dimaklumi bahwa penanganan penyakit tersebut pada masanya belums ebaik sekarang.

Stigmatisasi bahwa masyarakat Pulau Mandangin adalah identik dengan penyakit kusta masih berlanjut sampai saat ini, meskipun data pengurangan yang ditunjukkan oleh dinas kesehatan sudah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Beberapa kasus yang ditemukan lebih kepada kurang kesaadaran pada penderita untuk melakukan antisipasi sejak dini dengan memeriksakan ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit. Kemungkinan lebih dari 95% masyarakat Pulau Mandangin sudah terbebas dari penyakit kusta. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani masalah tersebut sangat baik dan menjadi prioritas, terbukti dengan dibangunnya dua Puskesmas Pembantu dengan tenaga yang didatangkan dari luar serta melibatkan masyarakat setempat guna memperlancar perencanaan, di antaranya; secara berkala petugas mendatangi rumah-rumah penduduk untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan secara gratis, juga dilakukan sensus kesehatan secara berkala untuk mengetahui perkembangan hasil yang telah dicapai. Disekolah-sekolah dilakukan imunisasi rutin oleh pihak Puskesmas, juga seringkali dilakukan penyuluhan kesehatan di balai desa. Bagaimanakah menghilangkan stigmai buruk tersebut dan menempatkan masyarakat Pulau Mandangin sejajar dengan masyarakat luar? Beberapa hal yang perlu dihatikan sebagai berikut:








































POLA-POLA PRILAKU MASYARAKAT

Pola Prilaku Positif 

a.    Pelaut yang handal

Masyarakat Pulau Mandangin adalah pelaut yang handal dan suka bekerja keras,tidak jarang mereka melaut berhari-hari sampai ke luar Madura untuk memperoleh penghasilan yang cukup. Biasanya mereka membentuk satu tim dalam satu rombongan kapal yang besar dengan peralatan yang dirancang sebagai teknologi tepat guna. Tidak jarang pula yang hanya melaut sendirian dengan kapal kecil yang hanya dilengkapi oleh mesin sederhana atau lasim disebut dengan mesin “tempel”.

Kebiasaan tersebut juga melahirkan percampuran budaya antara masyarakat pulau yang ada di sekitar perairan selat Madura maupun selat Jawa. Hal ini memberikan dampak positif bagi perkembangan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat, terutama dalam hal perekonomian dimana banyak sekali terjadi transaksi ekonomi lintas pulau. Disamping itu, hal tersebut menguntungkan bagi masyarakat kota Sampang pada umumnya.Lalu lintas perdagangan ikan konsumsi maupun industri banyak melibatkan masyarakat kota.

b.    Kultur agama yang kuat 

Nuansa religius masih sangat kental dalam komunitas masyarakat nelayan pada umumnya, tetapi masyarkat Mandangin lebih steril dari pengaruh luar, tidak seperti komunitas nelayan yang ada di wilayah daratan yang sudah terkontaminasi. Misalkan pola berpakaian mereka masih mencitrakan muslim tradisional yang sesungguhnya sehingga tidak sulit membedakan komunitas Mandangin dalam komunitas masyarakat yang lebih luas. Contoh lain adalah rata-rata masyarakatnya lulusan pondok pesantren dan tidak sedikit di antara mereka yang hafidz Qur’an (mampu membaca tanpa melihat teks).Di samping itu rata-rata masyarakatnya sudah menunaikan ibadah haji bagaimanapun caranya dan menjadi suatu kebanggan tersendiri dalam tatanan status sosial. Melaksanakan ibadah haji adalah cita-cita yang paling ingin dicapai oleh sebagian besar masyarakat.

c.    Sistem kekerabatan

Sistem kekerabatan yang dimaksud adalah sistem kekeluargaan mereka yang masih terikat kuat dalam himpunan keluarga-keluarga besar. Kebanyakan dari mereka masih hidup secara berkelompok dalam satu lingkungan rumah tangga. Banyak ditemukan daribeberapa deret rumah dihuni oleh satu ikatan keluarga sedarah ditambah oleh orang luar yang terikat dalam perkawinan. Hal ini memunculkan suatu kebiasaan saling bergotong-royong antara mereka dalam kegiatan sehari-hari maupun dalam hajatan yang lebih besar.

Terdapat pula kebiasaan mengambil anak angkat, baik dari kerabatnya maupun dari orang lain dengan sistem pembagian satu hasil tangkapan untuk si pengasuh. Biasanya sianak angkat terus menerus hidup bersama orang tua angkatnya meskipun orang tua kandungnya tinggal tidak jauh dari mereka. Kebiasaan unik tersebut dilakukan oleh seluruh kalangan masyarakat tanpa membedakan status sosial.

  









Pola Prilaku Negatif 

a.     Minim kebersihan

Masalah ini menjadi sangat krusial ketika sudah menyangkut kepentingan kesehatan, suka atau tidak penyebab dari buruknya kondisi kesehatan masyarakat disebabkan oleh buruknya kesadaran terhadap pentingnya kesehatan. Hal ini penting,mengingat ekonomi masyarakat Pulau Mandangin rata-rata sudah jauh lebih baik dan sejatera. Tidak ada alasan bahwa buruknya prilaku hidup sehat masyarakat disebabkan oleh keadaan ekonomi mereka.
Artinya prilaku buruk tersebut lebih disebabkan oleh tingkat kesadaran yang rendah terhadap pentingnya kesehatan. Kebiasaan menyimpang yang menyebabkan munculnya bibit penyakit dianggap sesuatu yang wajar. Tidak ada yang melarang atau menganggap salah ketika ada orang yang membuang sampah ke laut dan bahkan buang “hajat” di tepian pantai sudah menjadi pemandangan yang biasa dan dilakukan oleh semua kalangan, tua-muda, laki-laki dan perempuan. Tentu saja pemandangan itu tidak sedap dan bahkan menjijikan, apalagi tempat tinggal mereka berderet di sepanjang bibir pantai.Masalah MCK (mandi, cuci dan kakus) merupakan faktor utama dan mendesak untuk segera diselesaikan. Sudah saatnya masyarakat Pulau Mandangin sadar bahwa disamping membuat rumah yang layak huni juga tidak kalah pentingnya memperhatikan MCK demi menjaga kesehatan bersama. Seharusnya tidak perlu terjadi ironisasi di mana sebuah rumah besar dan tergolong cukup bagus tidak memiliki fasilitas yang sangat fital tersebut.





b.     Minim kesadaran hukum

Penting untuk diketahui oleh seluruh masyarakat bahwa mereka hidup dalam negara hukum sehingga apapun yang dilakukan dalam kontek bernegara dan bermsyarakat tidak bisa lepas dari peraturan hukum yang bersifat mengikat. Fakta yang terjadi dan dianggap sesuatu yang wajar adalah beredarnya barang-barang ilegal di tengah-tengah masyarakat, bahkan memiliki nilai bisnis yang tidak kecil. Bagaimana tidak prihatin jika kenyataan Pulau yang hanya berjarak sepenggal dari kota Sampang itu menjadi sarang penggelapan barang-barang haram?

Kadangkala minimnya kesadaran hukum masyarakat tersebut juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan. Tidak jarang transaksi ilegal sering terjadi terang-terangan di dalam kota untuk selanjutnya dibawa ke Pulau Mandangin. Memang, masalah ini tidak bisa dipandang sepihak, tetapi bagaimanapun tingkat kesaadaran masyarakatlah yang menentukan apakah mereka mau atau tidak menaati hukum.


c.     Praktek klenik dan perdukunan

Salah satu ciri dari masyarakat terbelakang adalah percaya terhadap mitos dan tahayul. Mereka lebih mengedepankan kepercayaan terhadap klenik dan perdukunan daripada logika dan nalar sehat. Sebenarnya keadaan semacam itu merupakan manifestasidari ketidak berdayaan masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan hidup yang rumit.Mereka lebih memilih jalan pintas dan percaya terhadap kabar angin tanpa pertimbangan logika yang sehat.

Praktek klenik dan perdukunan di Pulau Mandangin tidak sekedar upaya alternatif ketika menemui jalan buntu tetapi menjadi pilihan utama dan sekaligus menjadi stigmatisasi yang semakin memperburuk keadaan. Pulau Mandangin selalu identik dengan sihir, santet, teluh dan sejenisnya. Padahal kenyataan yang terjadi hanya sekedar kabar burung, hanya desas-desus yang kemudian berkembang luas di tengah-tengah masyarakat bahkan meluas ke luar wilayah. Tidak jarang keadaan ini berakibat fatal ketika masyarakat terprovokasi oleh isu, kemudian main hakim sendiri. Banyak kasus penyerangan dan pembantaian oleh massa yang dilatarbelakangi oleh isu yang tidak jelas sumbernya.


d.     Minim pendidikan

Pendidikan merupakan kunci dari segala permasalahan. Dapat dipastikan jika tingkat pendidikan suatu masyarakat tinggi, maka tingkat kesadaran mereka terhadap tatanan normatif kehidupan juga menjadi tinggi dan sebaliknya. Pemerintah sudah berupaya keras untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan di Pulau Mandangin. Terhitung sembilan sekolah dasar negeri, satu sekolah menengah negeri dan satu SLTA swasta serta program-program informal terus diberdayakan. Belum lagi pendirian yayasan-yayasan pendidikan yang juga didanai oleh pemerintah serta yayasan pendidikan informal yang juga mendapatkan bantuan yang tidak sedikit, begitu pula pemberanasan buta huruf dan kejar paket terus digalakkan. Tetapi sampai saat ini segala upaya tersebut belum mampu mendongkrak kesadaran masyarakat terhadap tuntutan jaman yang makin terbuka.
Kenyataan ini memang terasa pahit, terutama bagi para guru yang mengabdi diPulau Mandangin. Meskipun bukan berarti upaya mereka sia-sia, tetapi fakta berbicara bahwa keadaan masyarakat masih jauh dari yang diharapkan. Kesadaraan masyarakat terhadap pentingnya pendidikan masih belum terbentuk. Dikotomi sekolah agama (pesantren) dan sekolah umum masih menjadi pemehaman yang perlu diluruskan. Lebihdari 70 % lulusan SD melanjutkan ke pesantren, menikah atau berhenti sama sekali,sisanya melanjutkan ke SMP. Artinya perlu ditingkatkan lagi upaya-upaya yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat praktis daripada teoritis. Hal-hal yang lebih memiliki nilaimanfaat dan langsung dirasakan oleh masyarakat bahwa pendidikan itu penting dalam kehidupan sehari-hari dan bukan alat untuk mencari kerja.




































UPAYA MENGANGKAT CITRA DAN MARTABAT

Masalah ini adalah masalah bersama, baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam hal ini tidak mungkin terjadi perbaikan jika tidak terjadi sinergi antara keduanya.Pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pendidikan dan masyarkat awam harus bekerjasama. Perlu diperhatikan bahwa pondasi menuju masyarakat yang bermartabat sekarang sudah terbentuk. Jumlah anak masuk sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi tiap tahun semakin bertambah. Terlepas apakah latar belakang motifasi mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, yang penting kwantitas lulusan SMA dan yang sederajat semakin bertambah, tinggal bagaimana memoles kwalitasnya. Hal tersebut merupakan modal dasar yang sangat baik dan cukup untuk membangun sebuah tatanan masyarakat yang berbudaya dan berwawasan nasional, tinggal bagaimana pendidikan dijadikan sebagai pola hidup masyarakat secara lebih luas tanpa meninggalkan prilaku yang agamis.

Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam pasal 3 UU No. 20tahun 2003, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.